Ritual Pemberian Nama, Peraq Api

By: Hariyanti, S.Pd | Posted on: 2023-09-07 14:54:46

Perempuan berwajah lugu khas gadis desa itu bangkit dari atas tempat tidur dengan hati-hati. Kancing bajunya hampir terbuka semua dan nyaris memperlihatkan bagian atas tubuh mulusnya. Ibarat seseorang yang hendak berbuat dosa di belakang pasangan. Mengendap-endap di tengah sunyi. Wajahnya melirik ke sosok tubuh yang masih terbaring berbalut selimut. Sebelum meninggalkannya, dia terlebih dahulu menyangga tubuh itu dengan beberapa bantal. Kanan, kiri, atas dan bawah begitu rapi. Jika dilihat sekilas, nyaris tampak seperti tumpukan bantal. Hanya bagian wajah saja yang sengaja tidak ditimbunnya. Tentu saja dengan satu alasan. Agar ia dapat menghirup udara meskipun terasa sedikit pengap karena memang keadaan rumah yang tidak mendukung sama sekali untuk mendapatkan udara segar. 

Ia pun berjalan perlahan mendekati pintu sembari memasang kancing bajunya. Lalu sedikit merapikan rambutnya yang tergerai, mengikatnya menggunakan ikat rambut berwarna merah. Baru saja ia hendak memegang gagang pintu. Ia teringat jika pintu ini tidak bisa diajak kompromi. Sudah berulang kali masalah timbul lantaran teriakannya. 

“Ayolah, Kak. Ganti pintu ini. Kasihan anak kita,” keluhnya kepada sang suami beberapa hari yang lalu. Suaminya tidak bergeming. Ia begitu khusuk menghisap batang rokok yang sudah hampir menyentuh kapas. Tampak kumisnya yang menjuntai melewati sudut bibirnya yang hitam. Tahi lalat yang cukup besar tepat berada pada lubang hidung sebelah kanan yang sering kali menarik perhatian siapapun. Bahkan ketika masa kecil dahulu kerap menjadi bahan olokan teman-temannya. 

Dengan penampilan yang jauh dari kata ideal, membuat para pemuda di desa iri kepadanya karena berhasil mempersunting seorang istri yang nyaris sempurna. Sehingga banyak yang mengira jika ia menggunkan pelet. Tetapi anehnya, ia tidak pernah perduli sama sekali dengan apapun yang dikatakan orang tentangnya.

“Sudah berapa kali anak kita ngagap gara-gara suaranya,” tambah perempuan itu. Berharap suaminya langsung menuruti permintaannya.

“Mau ganti pakai apa? Tabunganku sudah habis buat lahiran kamu,” timpal suaminya. Perempuan itu tidak bisa melanjutkan perkataannya. Ia tidak ingin bertengkar dengan suaminya hanya gara-gara pintu. 

Hingga detik ini pintu itupun masih seperti sedia kala. Berteriak dengan begitu kencang setiap kali disentuh. Umpama perempuan jadi-jadian yang digoda lelaki hidung belang.

Terdengar adzan berkumandang dari surau yang jaraknya sangat dekat dengan rumahnya. Tembok pembatas surau itu jadi satu dengan tembok rumahnya. Sehingga baru marbot mengetuk microphon saja, sudah langsung sampai ke telinga seisi rumah. Perempuan itupun memanfaatkan situasi. Ia berencana mengadu teriakan pintunya dengan lantunan adzan. Benar saja. Lantunan adzan ternyata mengalahkan congkaknya deritan pintu. 

Ia pun membiarkan pintu tersebut menganga selebar mungkin hingga menempel pada dinding tepat di belakangnya. Dengan senyum kemenangan ia meninggalkannya.  

“Sudah bangun, Nur?” tanya seorang perempuan paruh baya mengagetkan Nur yang hendak masuk kamar mandi. Ia tidak menjawab, hanya melempar senyuman diikuti anggukan yang tampak berat. Karena baru saja selesai bergelut dengan pintu kamarnya.

“Anakmu masih tidur?” tanyanya lagi. Kali ini Nur benar-benar tidak berniat menjawab pertanyaan tersebut. Mana mungkin dia bisa berlenggang-lenggong kalau anaknya sudah bangun. Pasti dia akan menentengnya sambil terus bergerak meskipun hanya di tempat. Bahkan kalau bisa berjoget dangdut agar anaknya tidak rewel. Dan benar saja. Perempuan paruh baya itu memang tidak menginginkan jawaban atas pertanyaan yang kedua tadi. Ia berlalu begitu saja meninggalkan Nur.

Tidak terasa fajar begitu cepat meninggi. Untung saja Nur sudah selesai membersihkan diri. Tampak beberapa bagian tubuhnya sudah dipenuhi boreh ditambah pilis menempel tepat pada dahinya. Meskipun begitu, tidak mengurangi kecantikan alami Nur. Justru membuat auranya semakin keluar selepas melahirkan putri pertamanya.

“Kok ndak panggil Ibu, Nur,” ucap perempuan paruh baya itu.

“Nur sudah bisa pakai sendiri kok, Bu,” timpalnya.

Tiba-tiba terdengar suara orang mengucap salam dari depan rumah. Nur dan perempuan paruh baya itu sontak menjawab bersamaan.

Nur bergegas hendak melihat siapa yang datang. Dan ternyata benar saja, perempuan yang ditunggunya sudah berada tepat di depan teras rumah. Rambutnya yang sudah beruban semua. Jika saja ada sehelai yang berwarna hitam, barangkali akan dijadikan jimat oleh anak, cucu atau siapa pun anggota keluarganya. Ya. Dia adalah Papuq Icok.

Papuq Icok adalah seorang Belian Nganak di desa tempat tinggal Nur. Meskipun pada waktu melahirkan kemarin, ia dan suaminya tidak memakai jasanya. Tetapi sekarang, mau tidak mau dia harus memakainya. Sebab, ibu bidan tidak paham dengan ritual Peraq Api yang sebentar lagi akan Nur adakan di rumahnya.

Nur mempersilakan Papuq Icok duduk di teras.

Di sana sudah tampak beberapa perlengkapan untuk upacara. Sebuah baskom yang berisi setumpuk kambut dan semangkok minyak jeleng. 

“Semua sudah lengkap?” tanya Papuq Icok sembari betelosor di atas tikar. 

Serasa akan menghadapi sebuah pertempuran yang dahsyat saja pikir Nur. Ini memang pertama kali dia lakukan. Meskipun sejak kecil dia sudah sering melihat ibunya melakukan upacara Peraq Api untuk kedua adiknya. 

Nur pun mengangguk.

Upacara Peraq Api merupakan salah satu tradisi turun temurun yang dilakukan oleh masyarakat Lombok, tepatnya suku Sasak. Tradisi ini adalah upacara pemberian nama untuk bayi yang baru lahir. Bukan berarti ketika bayi baru saja lahir, maka upacara akan langsung dilaksanakan. Tetapi, biasanya akan ditandai dengan lepasnya tali poset si bayi. Kurang lebih ketika bayi tersebut berusia 6 sampai 7 hari. 

Peraq Api sendiri bermakna mematikan api. Di mana pada saat upacara berlangsung diadakan semacam ritual. Belian Nganak akan menyiapkan beberapa kambut di dalam sebuah wadah berupa baskom. Kemudian dibakar. Selanjutnya Belian Nganak tersebut akan memutar si bayi di atas kepulan asap yang ditimbulkan dari pembakaran kambut sebanyak tiga kali sembari memanjatkan doa agar bayi itu menjadi anak yang sholeh dan sholehah, serta tidak mudah terserang penyakit yang berat-berat. 

Setelah bayi tersebut selesai diputar di atas kepulan asap. Selanjutnya kambut yang masih mengepul di atas baskom akan dimatikan atau dipadamkan dengan cara disiram air. Itulah sebabnya dinamakan Peraq Api atau mematikan api.

Nur memboyong bayinya yang ia apit menggunakan setumpuk bantal tadi di kamar. Bayi yang masih dalam keadaan tertidur itu langsung ia letakkan di pangkuan Papuq Icok. Tanpa basa-basi, Papuq Icok melucuti seluruh pakaian yang menempel di tubuh bayi mungil itu. Tangannya tampak begitu lihai. Seakan sudah melakukan hal tersebut hampir setiap hari. Sontak membuat si bayi terbangun dan langsung histeris.

Sementara Papuq Icok menunggu ibu mertua Nur menyalakan setumpuk kambut di dalam baskom. Ia melumuri sekujur tubuh mungil bayi tersebut menggunakan minyak jeleng yang sudah disiapkan. Bahkan bukan hanya sekedar dilumuri saja, bayi tersebut nyaris mandi dengan minyak. Mengkilat dan licin. Tentu saja. 

Menurut kepercayaan masyarakat suku Sasak, tujuan bayi dilumuri dengan minyak jeleng sebelum diputar di atas kepulan asap kambut adalah jika suatu saat si bayi terjatuh pada saat sedang berlari, berjalan atau bermain, maka dia tidak akan terlalu merasakan sakit. Ibarat buah kelapa terjatuh dari pohonnya dan baik-baik saja. 

Ritual pun dimulai.

Nur memicingkan mata melihat bayinya yang dipegang oleh Papuq Icok. Bukannya apa-apa. Tubuh bayinya yang berlumuran minyak jeleng ditambah tangan Papuq Icok yang tampak begitu licin. Tentu saja Nur berharap bayinya akan baik-baik saja.

“Alhamdulillah,” ucap Papuq Icok, Nur, ibu mertua dan juga suami Nur begitu upacara Peraq Api selesai.

Farida. Nama yang akhirnya tersemat untuk bayi Nur. Paras cantik Farida menurun dari sang ibu. Bentuk bibir yang imut dengan belahan dagu. Matanya yang bening dan juga hidung bangirnya. Mereka berharap nama tersebut dapat mendatangkan kebaikan dan keberkahan untuk dirinya sendiri dan juga untuk keluarganya.

Biarlah tangisan dan teriakan Farida beradu dengan pintu kamar ibunya setiap hari.  Menemaninya tumbuh. Entah sebelum dia memahami makna teriakan itu atau bahkan mungkin hingga dia dedare nanti.

Foto :  mayung.id

Catatan:

Pelet : ilmu hitam

Ngagap : terkejut atau kaget

Boreh : ramuan yang biasanya digunakan untuk memberikan rasa hangat dan juga wangi pada tubuh seorang perempuan selepas melahirkan, digunakan pada bagian tubuh

Pilis : ramuan yang dipercaya untuk menghilangkan rasa pusing selepas melahirkan, digunakan pada dahi

Papuq : nenek

Belian Nganak : dukun beranak

Peraq : mematikan

Kambut : serabut kelapa

Minyak jeleng : minyak kelapa

Betelosor : duduk selonjor

Tali poset : tali pusar

Dedare : gadis, remaja


Choose Colour